Berita tentang hilangnya rapor seorang siswa kelas 4 saat
akan naik ke kelas 5 di sebuah sekolah dasar di Gowa, Sulawesi Selatan
mengingatkan saya pada peristiwa yang sama beberapa tahun yang lalu. Walaupun peristiwa yang menimpa anak saya itu
tidak sampai menyebabkan dia harus mengulang kelas seperti halnya Aldy namun
cukup membuat tekanan psikologis pada anak saya lantaran takut jika bertemu
gurunya itu.
Peristiwa hilangnya rapor terjadi pada semester genap kelas
3 sekolah dasar di sebuah sekolah negeri di Pekanbaru, Riau. Waktu itu sepulang
sekolah, anak saya menyampaikan pesan dari gurunya bahwa rapor harus segera
dikumpulkan karena satu bulan lagi ujian akhir semester sudah dimulai. Lalu
saya bilang padanya, bukannya rapor sudah dikumpulkan waktu masuk semester
genap yang lalu. Karena memang sudah menjadi kebiasaan saya menyuruh anak saya
mengumpulkan rapor di awal semester.
Hari berikutnya dia menyampaikan hal yang sama, bahwasanya
rapor harus segera dikumpulkan. Saya lalu berpikir apa mungkin saya yang lupa,
jangan-jangan memang rapor belum dikumpulkan dan masih ada di rumah. Segera
saya cari rapor anak saya itu, dan saya tak menemukannya. Baru saya yakin kalau
memang rapor itu memang sudah dikumpulkan setelah libur semester ganjil.
Berikutnya, lagi-lagi si anak menyampaikan pesan dari sang guru kelas bahwa
rapor tidak ada di sekolah.
Segera saya menuju sekolah untuk menanyakannya pada ibu guru
kelas anak saya. Tahukah apa jawaban dan ekspresi wajahnya???? "Mana saya
tahu??! Dengan ekpresi wajah cuek seakan
tak ikut bertanggung jawab. Waktu itu
anak saya juga berada dalam kelas bersama saya. Sang guru bilang bahwa rapor
pernah dipinjam anak saya untuk keperluan MDA (Madrasah Diniyah Awaliyah)
karena anak saya juga sekolah di sebuah madrasah saat sore hari. Saya pun heran
dengan keterangan ibu guru itu, karena untuk apa MDA meminta rapor sekolah umum
karena memang tidak ada hubungannya. Saya tanyakan juga pada anak saya waktu
itu apakah benar dia pernah meminjam rapor untuk keperluan MDA, dengan
terisak-isak dia mengatakan bahwa tidak pernah meminjam rapor untuk keperluan
itu.
Raut muka ibu guru itu semakin terlihat tidak ramah mendengar keterangan muridnya
itu. Lalu dengan nada tinggi beliau berkata,"Ibu ingat kamu
meminjamnya..!" Mendengar itu, anak saya semakin terlihat takut dan
tertekan. Lalu saya bilang pada beliau, jika rapor diperlukan untuk MDA tidak
mungkin saya tidak mengetahuinya. Dalam hati saya yakin rapor itu hilang atau
terselip di sekolah. Karena menurut ibu guru itu rapor yang sudah dikumpulkan
diletakkan di laci meja guru di kelas (bukan di dalam sebuah lemari di kantor
guru). Sedangkan kelas juga dipakai oleh 2 kelas berbeda, kelas pagi dan kelas
siang.
Penyelesaian tidak kunjung diberikan oleh sang guru saat
itu. Yang ada berulang kali dia menyalahkan anak saya yang waktu itu umurnya
baru 8 tahun. Saya juga agak naik darah dibuatnya, bukannya berusaha menyelesaikan
masalah malah membuat tekanan mental pada anak-anak. Hingga akhirnya seorang
guru lain mendengar debat kusir dalam ruangan kelas itu, dengan nada yang cukup
bijak bapak guru itu bilang kepada saya bahwa rapor hilang bisa diganti dengan
membayar Rp. 10.000,- sebagai pengganti buku rapor. Saya jadi berpikir, kenapa
ibu guru kelas itu tidak memberikan solusi itu sejak awal??? Kenapa harus
menekan mental anak-anak dulu??
Sejak peristiwa itu, anak saya seperti tertekan jika akan
berangkat ke sekolah. Dia seperti mendapatkan intimidasi dari guru kelasnya,
tapi untungnya hal itu tidak berlangsung lama karena beberapa bulan kemudian
dia sudah naik ke kelas yang lebih tinggi dan berganti guru kelas.
Rapor SD tahun 1988 |
Rapor SMP th 2010 |
Yang saya pikirkan setelah kejadian itu, bagaimana mungkin
di era teknologi informasi seperti saat ini, penulisan rapor dan penyimpanan
arsipnya masih dilakukan secara manual?? Rapor masih ditulis dengan tangan
sedangkan penghitungannya masih menggunakan kalkulator. Ini sistem yang sudah
out of date kan? Bayangkan saja jika dalam satu kelas terdiri dari 30 - 40
siswa? Saya rasa cukup merepotkan. Bukannya sudah ada perangkat lunak yang
memudahkan kita memasukkan data lalu menghitungnya secara otomatis, misalnya dengan
Microsoft Excel?
Bagaimana jadinya jika seluruh rapor siswa hilang atau rusak
karena terbakar? Atau sekolah tiba-tiba dilanda banjir namun belum sempat
menyelamatkan rapor siswanya? Apakah seluruh siswa harus mengulang seperti yang
terjadi pada Aldy?
***
Kondisi berbeda saya temukan di sekolah sang adik. Anak
kedua memang saya sekolahkan di sebuah sekolah Islam swasta yang lokasinya tak
jauh dari sekolah negeri kakaknya. Rapor tidak lagi berupa buku yang ditulis
tangan namun sudah berupa tulisan komputer dan diprint. Lembaran-lembaran rapor
tiap semesternya dimasukkan dalam sebuah file keeper. Jika hard copy itu
hilang, maka tak perlu lagi guru menulisnya namun tinggal ngeprint dari soft
copy yang disimpan di sekolah.
Rapor SD swasta th. 2009 (diketik komputer) |
Coba bandingkan, mana yang lebih praktis dan efisien?
Mungkin sebagian orang berpikir, bagaimana administrasi penulisan rapor ini
diterapkan di sekolah-sekolah terpencil?? Apakah SDM atau guru-gurunya sudah
menguasai teknologi dan memiliki perangkat yang canggih itu sedangkan bangunan
sekolah saja tak terurus. Apakah sekolah-sekolah negeri di Indonesia masih
primitif ya?
Itu adalah TUGAS PEMERINTAH, dan pemerintah TAK BOLEH LEPAS
TANGAN pada masalah pendidikan anak-anak penerus bangsa ini. Kemajuan bangsa
berawal dari kemajuan pendidikan, jadi kapan dong pendidikan anak-anak
Indonesia bisa maju. Memiliki bangunan sekolah yang memadai dan sistem
administrasi yang tak lagi manual...
Saya pun hanya berharap anak-anak Indonesia bisa menikmati
pendidikan yang maju..... semoga...
* Sumber : Tulisan saya di Kompasiana
* Sumber : Tulisan saya di Kompasiana
1 comments:
saya guru MDA mbak, tapi saya tak seperti itu, sosok guru yang mbak gambarkan sungguh tidak bijaksana, dan saya tidak yakin apa orang seperti itu layak berlabel guru, raport bukanlah hal krusial, karena hanya berisi nilai nilai subjektif, sedangkan raport yang sebetulnya adalah prilaku anak itu sendiri terhadap orang orang dan lingkungan di sekitranya.
terima kasih mbak, artikelnya nendang banget.
bahkan madrasah kami sudah menerapkan teknologi dengan menggabungkan rapot manual dan rapot berbasis ms.excel, nilai kami upload dan dapat didownload di link khusus kami.
saya banyak membaca artikel ayah Edy dalam hal pendidikan anak, mungkin mbak sudah tahu, tapi untuk berbagi dengan yang lainnya, berikut ini link website beliau :
http://ayahkita.blogspot.com
Posting Komentar