7/11/2012

"Bagaimana Sperma Bisa Bertemu Sel Telur, Bu..??"


Image by google


Dulu waktu saya berusia sekitar 12 tahun, bertanya tentang bagaimana proses lahirnya bayi dari rahim seorang wanita, atau bagaimana caranya koq bisa jadi bayi, bagaimana caranya sperma seorang pria bertemu sel telur wanita.. pada ibu atau bapak saya rasanya koq tabu ya?? Dan saya teramat yakin kalau jawaban mereka pasti "kamu akan mengetahuinya nanti setelah dewasa". Itu jawaban yang praktis... hehe

Tapi seiring perkembangan informasi saat ini sepertinya anak-anak semakin terbuka. Pertanyaan-pertanyaan diluar dugaan saya membuat saya terkejut dan tersenyum. Rasa ingin tahu mereka yang besar karena pengaruh tayangan TV, internet dan media yang semakin variatif semakin membuat orang tua sekarang harus semakin kreatif dan rajin membaca untuk menjawab keingintahuan anak-anak. Sebenarnya memberikan sex edukasi pada anak-anak tidak susah tapi juga sangat tidak mudah.

Ini pengalaman saya...

Jauh sebelum mereka bertanya tentang proses terbentuknya seorang manusia dalam rahim seorang wanita, saya sudah membelikan mereka buku tentang PUBER PADA REMAJA Cewek dan Cowok (terbitan Erlangga). Karena anak-anak saya waktu itu sudah berusia 8 dan 11 tahun. Yaa... paling tidak mereka tahu bagaimana bentuk alat kelaminnya jika sudah beranjak dewasa, apa tanda-tanda kalau dia puber dll. Dari buku itu dia juga tahu bahwa janin terbentuk dari bertemunya sperma laki-laki dengan sel telur perempuan yang ada dalam rahim. Tapi bagaimana caranya, tidak ada penjelasan.

Maka, pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang muncul dan mempertanyakannya pada saya ibunya.. Kebetulan yang  bertanya anak yang berusia 10 tahun kelas 5 SD.
Anak   : Bu, adek bayi itu asalnya dari bertemunya sperma laki-laki dan sel telur perempuan kan??
Ibu      : Iya..
Anak   : Gimana ketemunya ya bu..? Apa seperti bunga? Terbang-terbang di udara?
Ibu      : Hmmm... (mulai bingung memilih kata-kata). Kamu kan tahu bagaimana bentuk alat kelamin laki-laki dan alat kelamin perempuan?
Anak   : (Dia mulai manganalisa sendiri..) Jadi ketemunya...??? mmmm... dimasukkan???
Ibu      : Ya, kamu sudah punya jawabannya kan?
Anak  : Hiiiii......... koq gitu ya?? Jadi aku hasil dari....???
(Sebenarnya saya ingin tertawa melihat reaksinya itu, tapi saya berusaha menahannya)
Ibu     : Iya..  itulah tujuan dari pernikahan. Menikah dulu baru bisa punya anak. Dan kamu lahir itu karena kasih sayang Bapak dan Ibu, nak.

Itu sebagian percakapan saya dengan anak perempuan saya. Mungkin antara anak yang satu dengan yang lain berbeda cara mengungkapkan pertanyaan tentang sex pada orang tuanya. Ada yang malu-malu ada juga yang to the point. Intinya bagaimana kita menjelaskannya dengan bahasa yang dimengerti anak-anak sesuai usianya.

Dan bersiap-siaplah anda sebagai orang tua menerima pertanyaan-pertanyaan tak terduga dari anak-anak anda..

"Andai Ikan Mas itu Ibuku.."



"Hayo jangan lupa sikat gigi.."

"Jangan lupa cuci kakinya sebelum tidur"

"Eh.. jangan ganggu adikmu ya.."

"Eittt... rambutnya disisir dong.."

"Handuknya jangan ditaruh di tempat tidur ya.. "

"Sepatu ditaruh tempatnya tuh.."

"Baju kotornya taruh di keranjang cucian jangan lupa..."

Lalu si anak bergumam sambil memandangi aquarium, "Andai saja ikan mas itu ibuku..."

Sampai sekarang kalau inget percakapan dalam cerita itu, bawaannya pengen ketawa. Koq ya gambarannya pas banget sama saya gitu loh.... bawel.. hehehehe...(ngaku). Sambil bertanya-tanya dalam hati, apa iya sih yang namanya ibu-ibu di seluruh dunia itu bawel? Lha wong percakapan di atas itu ada di buku bacaannya Faiz yang sekolahnya di sekolah Inggris. Mungkinkan ibu-ibu di Inggris itu juga sama bawelnya dengan saya..??

Nggak tau deh kalo ibu-ibu yang lain apakah sebawel ibu yang ada di bukunya Faiz atau malah nggak merasa bawel sama sekali. Rasanya kalau saya nggak bawel nih, rumah tuh bakalan berantakan deh. Anak-anak sekarang koq sepertinya beda banget sama jaman saya dulu, kalau nggak diperintah nggak jalan. Sikat gigi aja pake diingetin tiap hari. Koq ya sepertinya seneng banget dengerin suara merdu ibunya.... hehehe..

Saya inget banget jaman saya SD, ibu saya juga suka nyuruh saya beresin tempat tidur, habis makan piring, sendok dan gelasnya harus di cuci, keramas tiap 2 hari sekali, beresin buku kalau habis belajar, bersihkan rumah kalau sore, nyapu halaman... bla..bla... Tapi ngomongnya juga cukup sekali dua kali saja, setelah itu nggak perlu lagi diomongin otomatis dikerjakan tanpa di perintah. Soalnya nggak suka juga ibu tiap hari ngomelin saya jadi cukup sekali ngomong selanjutnya ya sadar diri kalau itu sudah jadi tugas kita.

Hmmm... rasanya juga saya nggak pengen jadi ibu yang bawel. Pengennya anteng aja kayak si ikan mas itu.

Atau saya bilang, "Ya udah, Ibu jadi ikan mas aja ya.."

Berguru pada Anak, Tak Selamanya Salah


"Kebo Nyusu Gudel" pernahkah anda mendengar pepatah Jawa ini? Belum pernah mendengar atau belum mengerti artinya sama sekali? Kebo Nyusu Gudel artinya kerbau yang menyusu pada anaknya (gudel=anak kerbau). Pepatah ini memiliki arti bahwasanya seseorang yang lebih tua kadangkala harus mau belajar atau berguru pada  orang muda bahkan anak kecil sekalipun.

Kebanyakan dari kita orang tua, merasa menjadi makhluk dewasa yang lebih tahu dari anak-anak yang umurnya notabene di bawah kita. Orang tua juga kadang merasa lebih banyak makan asam garam kehidupan atau memiliki pengalaman hidup lebih banyak dibandingkan dengan anak-anak sehingga beranggapan ilmunya jauh lebih banyak dari anaknya. Seringkali anak-anak menjadi obyek sasaran pemaksaan sebuah kehendak orang tua. Anak-anak tidak diberi kesempatan untuk menolak dengan alasan-alasan yang sebenarnya masuk akal. Tapi karena orang tua memiliki ego yang besar untuk memaksakan pendapat dan kehendaknya pada anak-anak, maka alasan yang masuk akal pun tidak akan diterima jika datangnya dari anak-anak. Orang tua lebih "pintar" dari anak-anak, itu prinsipnya.

Mana ada sih orang tua yang tidak ingin anaknya sukses? Kalimat sakti ini yang kerapkali menjadi salah satu alasan mengapa para orang tua merasa berhak mengatur anak-anak. Maka tidak heran, lihat saja akhir-akhir ini, anak-anak seperti tidak berdaya mengikuti kemauan orang tua untuk ikut les ini itu demi sebuah "prestise" di mata orang tua yang lain. Juga menjadi obyek kemarahan orang tua jika mereka mendapatkan nilai rapor yang tidak sesuai dengan target. Menimpakan kesalahan sepenuhnya pada mereka karena tidak bisa masuk ke sekolah favorit pilihan orang tua. Bahkan sampai memilih jurusan di perguruan tinggi orang tua merasa harus ikut andil karena orang tua lebih tahu soal ini. Sebuah paradigma berpikir kaum tua yang sudah berlaku turun temurun.

Namun ternyata kedewasaan berpikir bukan dominasi kaum tua yang sudah kenyang dengan pengalaman hidup. Saya melihatnya sendiri bagaimana anak-anak kadang memiliki cara berpikir lebih dewasa dari kita yang dewasa. Sebuah komentar di dinding Facebook anak saya menyadarkan saya bahwa ternyata cara berpikirnya melampaui saya, ibunya. Pandangan soal nilai yang selama ini saya anggap sebagai satu-satunya indikator kesuksesan akademis.
Dia memang mendapatkan nilai tertinggi di kelas dan komentar ini merupakan jawaban dari sebuah ucapan selamat seorang temannya. (Saya copas dari FBnya)

 "Neng selamat yaaa nemnya tertinggi diantara kitaa ^^."  "Iya terima kasih:) Tapi yg penting, nilai itu kebutuhan pendidikan nomer 2^^ Nilai kan g dibawa smpe mati kan?? walaupun nilai itu dibutuhkan dimasa depan, tapi ILMU lah yg dibawa smpe mati dan dibawa ke masa depan;) jadiiii jangan kecewa cuma karena nilai, boleh kecewa tapi utk sekedar dijadiin penyemangat belajar=))"

Poinnya bahwa bukan nilai (angka) yang seharusnya kita tekankan. Bukankan mencari ilmu tidak sama dengan mencari angka? Angka bisa dimanipulasi dengan cara apapun misalnya dengan mencontek atau membeli kunci jawaban seperti dalam UN. Tapi jika ilmu yang kita kuasai, otomatis angka yang diperoleh akan menyesuaikan. Yang bermanfaat sesungguhnya adalah ilmu, bukan angka yang sempurna.

Ahh.... saya ternyata baru menyadari bahwa cara berpikir saya salah soal nilai. Saya terlanjur mengikuti paradigma kebanyakan orang tua. Ternyata saya memang tak lebih dewasa dari anak saya yang berumur 15 tahun. Namun sekarang saya pun harus mengakui kedewasaan berpikir bukan lagi terletak pada umur. Banyak orang dewasa yang berpikir kekanak-kanakan. Jadi apakah salah jika kita berguru pada anak-anak...??


*Sumber dari tulisan saya di Kompasiana

























 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India